Kamis, 08 Juli 2010

RTH (Ruang terbuka Hijau)

RTH ku sayang, RTH ku malang

Ruang publik yang hijau dan segar adalah paru-paru kota. Adanya RTH, membuat kita ga sumpek bahkan stress hidup di perkotaan. Saat kita lelah dan jenuh menghadapi kepenatan kota, bergumul dengan asap dan polusi suara kendaraan, RTH menyegarkan mata dan paru-paru kita, bahkan menyegarkan otak kita. RTH merupakan sarana untuk bermain, bercengkrama dengan keluarga, tetangga dan teman-teman dengan kondisi minim polusi.

Selain itu kita sering lupa bahwa RTH adalah media resapan air dan resapan polutan bebas. Air hujan yang mengguyur kota tidak akan mengalir dijalanan jika banyak RTH disekitarnya, polutan yang bergentayangan memasuki paru-paru manusia juga tak akan terhirup manusia jika diserap oleh tumbuhan. Mata? anda? tentu saja mata akan sangat terbantu. Warna hijau tanaman berdasarkan banyak penelitian dapat menyegarkan mata, menyehatkan bahkan mengobati minus.

Tapi sayang seribu sayang, kini RTH diperkotaan semakin sedikit dan terancam punah. Misalnya di kota Bandung, lihat saja kawasan dago yang dulunya disebut sebagai paru-parunya Bandung ini kini sudah berjejal kafe, mall, distro dan praktek-praktek kapitalisme lainnya. Jalanan yang dulunya penuh pepohonan rindang kini tinggal kenangan, satu persatu pohon rindang tumbang tak tahan ditelan zaman.

Satu lagi yang hampir punah, RTH didaerah AH. Nasution. RTH yang luas dan tepat dipinggir jalan itu kini hampir punah dan menunggu uluran tangan sang pahlawan alam. Jika kawasan itu jadi dibangun menjadi kawasan bisnis apa jadinya nasib warga Bandung Timur dan pelancong-pelancong dari daerah Priangan Timur? melengkapi kemacetan yang sudah terjadi sekian tahun, warga sana harus bersiap-siap menelan bulat-bulat polutas bebas yang tak diserap pohon. Satu lagi, banjir siap menghantui. Tidak adanya RTH artinya siap-siap akan banjir. Air hujan yang mengguyur tidak akan teresap tanah dan pohon, alhasil mengalir kejalan dan walaah....jadilah banjir.

The last but not least, budaya konsumtif dinegara ini akan semakin dimanjakan dengan berjamurannya kawasan bisnis disetiap titik. Mall, Distro, Kafe, Junkfood, Villa bertengger sombong mempertontokan budaya kapitalisme yang secara sadar tidak sadar kita anut. Yah....inilah dunia Full of Power, siapa yang kuat dia yang eksis....yang lemah? cukup menjadi penonton dan ngedumel seperti apa yang kulakukan sekarang...haha.....

Tapi hidup tak cukup dengan menjadi penonton kawan. Masih banyak hal kecil yang bisa dilakukan orang kecil. Hal besar yang bisa dilakukan orang berjiwa besar. Cukup peka dan lindungi alam disekitar kita, semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar