Minggu, 19 April 2009

petualangan sang sarjana

Petualangan sang sarjana

Sarjana, sebuah kata yang tak seberharga dulu, sebuah kata yang tak sebernilai seperti dulu, sebuah kata yang tak seberarti seperti dulu. Saat ini sarjana berserakan dimana-mana, perguruan tinggi A, perguruan tinggi B, politeknik A, politeknik B, institute A institute B beredar di hampir setiap penjuru kota menjajakan gelar sarjana bagi siapapun yang punya biaya.

Dulu, seorang nenek bilang, seorang sarjana masih jarang di kampung, saat itu sarjana menjadi kembang desa, seseorang yang pandai nan sopan santun. Ilmunya terlihat dari sikapnya yang sopan dan berwibawa. Senang berbagi ilmu kepada sesama dan selalu taat pada orang tua.

Tapi saat ini, gelar sarjana menjadi sangat mudah didapat dari mulai universitas terkemuka dan berkulitas sampai perguruan tinggi abal-abal beredar. Kemajuan teknologi memang sangat dipengaruhi dan berpengaruh bagi dunia pendidikan. Segalanya menjadi lebih mudah dan cepat dengan teknologi. Bahkan saat ini kuliah online sudah banyak diminati, bisa dapet gelar S1 atau S2 dengan hanya modal internet mungkin jadi daya tarik, ga usah cape bulak-balik kampus, grogi ngadepin dosen dan persaingan di kampus, dan semua tetek bengek lainnya yang menurut sebagian kalangan merepotkan.

Hari ini segerombolan sarjana sering memenuhi gedung gedung, mengantri untuk mencari lowongan pekerjaan. sarjana yang pengangguran jadi asset para pebisnis untuk mendulang keuntungan. Job Fair misalnya, untuk masuk ke gedungnya saja setiap kepala sarjana dikenakan biaya Rp15.000. tak terbayang berapa jumlah uang yang didapat panitia jika jumlah sarjana yang datang ribuan orang. Dan diantara ribuan orang itu barangkali hanya segelintir orang yang diterima bekerja pada salah satu perusahaan peserta job fair.

Bukan Cuma di job fair, dilingkungan rumah kita sudah tak aneh ada sarjana, bahkan kadang ada cibiran orang “ah Cuma sarjana dari sekolah tinggi A…”. entah apa yang terjadi saat ini. Memang masih banyak sarjana yang berkualitas, kreatif dan beretika, tapi tak kalah banyak sarjana yang hanya dipandang sebelah mata.

Lihat tetangga kita, seorang sarjana tapi kerjaannya hanya cuci mata atau berwisata. Atau barangkali kaka kita, saudara kita, anak kita, bahkan diri kita sendiri. Nampaknya sang sarjana bingung hendak kemana. Kalaupun mau berkarya atau dapat kerja mereka harus punya banyak biaya. Ya….nimalnya kuliah di tempat yang punya slogan “langsung dapat kerja” dengan biaya berpuluh-puluh juta. Nampaknya biaya itu bukan untuk membayar pendidikan yang didapatnya, tapi sebagai modal untuk dibangunkan usaha oleh sekolahnya.

Sang sarjana menjadi bingung mau apa. Cari kerja atau berakhir di rumah. Mungkin kini sang sarjana punya rutinitas baru seperti nonton sinetron kesayangan, infotainment favorit atau sekedar smsan.

Kita tak bisa menutup mata bagi para sarjana yang kini sudah bisa berkarya. Banyak diantara mereka yang bisa menjadi tokoh didaerahnya, selalu membawa dampak positif di lingkungannya, menjadi karyawan, pegawai bahkan pemegang kekuasaan di sebuah perusahaan. Lagi-lagi kemajuan teknologi sangat menunjang untuk selalu bergerak berinofasi dan berkreasi, dan kita tahu saat ini banyak sarjana yang berkualitas mengharumkan nama keluarga, agama, bangsa dan negara.

Tapi kita juga perlu membuka lebar-lebar pada sarjana yang menjamur saat ini. Disatu sisi, di daerah banyak sekali warga yang tak berdaya untuk meneruskan pendidikan hingga perguruan tinggi. Disisi lain, diperkotaan sarjana bak barang yang dilelang disana sini. Keberadaan sarjana tidak semenyejukkan dulu, kini sarjana hanya dilihat sebagai gengsi. Mahasiswa kebanyakan adalah calon sarjana yang hanya senang mengikuti trend fashion, hangout di Mall, jalan kesana, jalan kesini, nonton bioskop, dan berbagai hedonisme lainnya. Dilihat dari etika, saat ini banyak mahasiswa yang kurang sopan, tak menghargai adapt, norma, dan agama bahkan tak jarang dari mereka yang menjadi pengedar ganja.

Lalu, apa yang harus dilakukan?

Seorang dosen filsafat pernah bilang, fungsi dari ilmu pengetahuan adalah membuat manusia menjadi bijaksana. Makin pintar seseorang maka makin akan makin bijaksana orang itu. Barangkali proses menuju mencapaian pribadi yang bijaksana tersebut kurang bijaksana sehingga membuat hasilnya pun jauh dari harapan. Mari kita urut permasalahannya dari awal.

  1. Niat dari setiap orang dalam menuntut ilmu itu apa? Cuma karena jaga gengsi? Mengisi waktu luang? Atau tulus mencari ilmu agar bisa jadi orang yang lebih baik dan bermanfaat dimanapun dan kapanpun.
  2. Niat saja tidak cukup. Bagaimana proses yang dijalani untuk mewujudkan niat tersebut. Hidup adalah pilihan, mau ambil kiri atau jalur kanan. Masing-masing jalur ada konsekwensinya. Proses pendidikan pun banyak pilihan. Mau ambil jalur kiri atau jalur kanan.
  3. Yang sulit adalah system pendidikan yang ada. Terkadang sebuah system memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu sesuai peraturan yang ada. Padahal sangat mungkin ada cara lain yang lebih baik dari system yang ada. Andai pola pendidikan yang ada sekarang seperti pola pengajarannya Rosululloh ketika membimbing sahabat untuk menghafal quran, Jika belum benar-benar hafal dan memahami maka Rosul tidak akan mengajarkan yang lain.
  4. Hasil tergantung dari prosesnya sebaik atau seburuk apapun hasilnya dimata manusia, akan selalu baik dimata Allah jika dalam prosesnya selalu mengalami perubahan menuju yang lebih baik.

Banyak hal yang bisa menjadi factor, tapi, agar lebih efisien dan efektif mari kita mulai perubahan dari diri kita. Barangkali niat dan usaha kita dalam menempuh pendidikan kurang tulus. Niatkan bahwa dimanapun kita menuntut ilmu, baik formal maupun nonformal adalah untuk mencapai kebijaksanaan sejati. Niat seperti itu dapat mencegah kita dari berbuat negative dan sombong. Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lainnya. Percayalah dengan ilmu apapun yang kita dapat dari manapun dapat kita gunakan untuk memberi kebaikan kepada orang lain.


Setelah itu, jalani niat tersebut dengan istiqomah tetap dijalan yang lurus. Pantang semangat, selalu berikhtiar dan berdoa. Masalah hasil? insyaAllah mengikuti. Rubah paradigma “sukses” yang telah ada dalam pikiran kita. Jika saya berfikir orang sukses adalah orang yang Kaya, punya pekerjaan bagus, mobil bagus, dan lain-lain, maka pandangan itu tidak sepenuhnya salah dan tidak sepenuhnya benar. Karena menurut Rusli amin “SUKSES adalah PROSES PERJUANGAN untuk MENJADI LEBIH BAIK”


Jadi, hai para sarjana..buka mata telinga, hati dan seluruh organ kita untuk melihat sekitar kita, mencari ilmu sebanyak-banyaknya untuk MENJADI LEBIH. Sebetulnya tulisan ini hanyalah sebuah autokritik, semoga menjadi autokritik yang bisa membawa manfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar